Layanan

PT. Limbangan Brebes Solution menyediakan berbagai layanan profesional untuk membantu pengusaha mengurus legalitas bisnis mereka. Dengan pengalaman yang luas, kami memastikan setiap layanan dilakukan dengan efisien, tepat waktu, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Berikut adalah layanan utama kami:

1. Jasa Pembuatan Dokumen Lartas Impor

Tidak semua produk boleh diimpor tanpa regulasi. Pelajari aturan dan mekanisme impor terkait barang-barang yang termasuk dalam kategori Larangan dan Pembatasan (Lartas). Mekari Klikpajak menyediakan panduan komprehensif mengenai impor barang Lartas beserta peraturan terupdate untuk mempermudah proses impor Anda.

Definisi Barang Lartas

Barang Larangan dan Pembatasan (Lartas) mengacu pada komoditas yang diawasi secara ketat oleh pemerintah dan membutuhkan perizinan khusus dalam perdagangan internasional atau kegiatan lintas negara (ekspor-impor). Meski demikian, terdapat pengecualian untuk barang tertentu yang termasuk dalam kategori ini.

Kebijakan Lartas bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional, termasuk melindungi industri lokal dan masyarakat dari produk-produk berbahaya.

Landasan hukumnya diatur dalam:

UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (sebagaimana diubah oleh UU No. 17 Tahun 2006). Permendag No. 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No. 36 Tahun 2023. PMK No. 141/PMK.04/2020 tentang Pengawasan Impor/Ekspor Barang Larangan dan Pembatasan.

Regulasi teknis juga ditetapkan oleh kementerian/lembaga terkait seperti Kemenperin, Kementan, KLHK, BPOM, dan Kepolisian. Ketentuan Lartas dari instansi-instansi tersebut kemudian dikordinasikan dengan Kemenkeu selaku pengelola INSW (Indonesia National Single Window).

Klasifikasi barang lartas dikelompokkan menjadi:

1. Barang bebas Lartas

2. Barang terkena Lartas

3. Barang terkena Lartas dengan pengecualian

4. Barang dibebaskan dari Lartas

Contoh barang Lartas mencakup:

  • Produk konsumsi, bahan kimia, elektronik (diatur Permendag).
  • Produk industri berbasis teknologi (diatur Kemenperin).
  • Komoditas pertanian dan turunannya (diatur Kementan).
  • Limbah B3 (diatur KLHK).
  • Obat, kosmetik, makanan (diatur BPOM).
  • Senjata api (diatur Kepolisian).

Detail daftar barang Lartas dapat dilihat dalam Lampiran I Permendag No. 36/2023:

Ketentuan dan Penanganan Barang Lartas

Importir wajib memperoleh persetujuan dari Kemendag sebelum barang masuk ke Daerah Pabean. Bea Cukai akan memverifikasi HS Code dan dokumen pendukung. Jika ditemukan ketidaksesuaian, barang dapat ditahan atau disita, dengan sanksi mulai dari denda hingga pidana.

Lartas yang kami bisa kerjakan sebagai berikut:

1. Persetujuan Impor (PI) Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya
2. Persetujuan Impor (PI) Kehutanan

3. Persetujuan Impor (PI) Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

4. Persetujuan Impor (PI) Pakaian Jadi dan Aksesori Pakaian Jadi

5. Persetujuan Impor (PI) Pakaian Jadi dan Aksesori Pakaian Jadi

6. Persetujuan Impor (PI) Kosmetik dan PKRT

2. Jasa Pembuatan Masterlist BKPM, SKB PPN dan SKB PPh

a. Masterlist BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)

Indonesia terus menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan mengupayakan pemberian fasilitas investasi yang menarik untuk calon investor agar turut berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah insentif fiskal pembebasan biaya masuk atau yang biasa dikenal dengan Masterlist. Bagi investor, pemberian fasilitas ini merupakan bentuk dukungan pemerintah yang dapat membantu meningkatkan daya saing perusahaan mereka.

Dalam tahapan awal perealisasian investasi, aktivitas impor giat dilakukan perusahaan untuk mendukung keberjalanan investasi, dimulai dari impor mesin hingga bahan baku. Dengan demikian, fasilitas Masterlist menjadi salah satu fasilitas yang diharapkan oleh Perusahaan untuk dapat dimanfaatkan. Pengertian, pengajuan, dan syarat Masterlist sudah diatur dalam PMK No.176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam Rangka Penanaman Modal. Menurut PMK tersebut, Fasilitas pembebasan bea masuk atau Masterlist diberikan atas impor mesin, barang, dan bahan yang dilakukan oleh Perusahaan yang melaksanakan pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal untuk kegiatan usaha di bidang industri yang menghasilkan barang, dan/atau menghasilkan jasa yang telah ditetapkan pada PMK tersebut.

Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Masterlist, perusahaan harus melalui beberapa prosedur pengajuan kepada Kementerian Investasi/BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang sudah ditetapkan sebagai berikut:

  1. Persiapan Dokumen: Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang diperlukan seperti Data Perusahaan (KBLI, Izin Usaha, dan dokumen lainnya), Data untuk pengisian form Masterlist (HS Code untuk barang-barang yang akan diimpor, spesifikasi teknis, lampiran kapasitas produksi, dan dokumen teknis lainnya yang tertera pada laman OSS (One Single Submission)
  2. Pengajuan Permohonan: Pengajuan fasilitas Masterlist dapat dilakukan melalui laman OSS dengan dokumen yang sudah disiapkan sebelumnya.
  3. Evaluasi dan Verifikasi: Setelah pengajuan telah diterima, instansi terkait akan melakukan evaluasi dan verifikasi kecocokan data terhadap dokumen yang diajukan dan melakukan pengecekan kondisi lapangan. Proses ini dilakukan untuk memastikan bahwa Perusahaan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas Masterlist dengan mengeluarkan Laporan Hasil Klarifikasi Teknis dari Kunjungan Lapangan.
  4. Pemberian Rekomendasi: Jika dokumen dan persyaratan telah dipenuhi, instansi terkait akan memberikan rekomendasi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan fasilitas bea masuk.
  5. Penerbitan Surat Keputusan: Setelah rekomendasi diterima, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan menerbitkan SKEP (Surat Keputusan) Masterlist yang langsung dapat diunduh melalui OSS
  6. Laporan Realisasi Impor: Laporan dilakukan atas masing-masing barang yang diimpor setelah melakukan proses importasi.

Setelah fasilitas Masterlist diberikan dibuktikan dengan keluarnya SKEP Masterlist kepada perusahaan, langkah selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan adalah proses audit untuk memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya. Audit Fasilitas Pembebasan Bea Masuk menjadi ruang lingkup Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk memeriksa mengenai realisasi impor yang dilakukan oleh Perusahaan. Adapun hal-hal yang diperiksa oleh Bea Cukai diantaranya:

  1. Jumlah Barang: Audit akan memeriksa apakah jumlah barang yang diimpor atau diekspor sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam dokumen pabean.
  2. Jenis Barang, termasuk Spesifikasi Teknis Barang: Pemeriksaan ini melibatkan verifikasi bahwa jenis barang dan spesifikasi teknis sesuai dengan yang diuraikan dalam dokumen impor atau ekspor.
  3. Nilai Barang: Audit akan memeriksa apakah nilai barang yang diimpor sesuai dengan nilai yang dinyatakan. Nilai barang digunakan untuk menentukan bea masuk dan pajak lainnya.
  4. Lokasi Barang: Lokasi barang yang disimpan harus sesuai dengan yang dinyatakan dalam dokumen pengimporan / SKEP yang tertera pada Masterlist.
  5. Jangka Waktu Pengimporan: Pemeriksaan jangka waktu pengimporan dilakukan untuk memastikan bahwa barang yang telah diimpor masuk ke dalam periode yang diizinkan oleh peraturan.
  6. Pelabuhan Pemasukan: Pemeriksaan bahwa barang masuk melalui pelabuhan yang telah dinyatakan dalam dokumen pabean.
  7. Tujuan Penggunaan Barang: Tujuan penggunaan barang harus sesuai dengan yang dinyatakan dalam dokumen impor. Misalnya, barang yang diimpor dengan fasilitas bebas bea masuk untuk tujuan produksi harus digunakan sesuai dengan tujuannya. Penyalahgunaan tujuan barang dapat mengakibatkan sanksi atau pencabutan fasilitas.

Pada intinya, Fasilitas Masterlist diberikan oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dalam perealisasian Investasi yang dampaknya dapat memberikan kontribusi kepada negara. Harapannya, dalam pelaksanaannya kedua belah pihak baik Pemerintah dan Perusahaan dapat saling bekerja sama untuk mematuhi aturan dan mencapai tujuan bersama.

b. SKB (Surat Keterangan Bebas) PPN

Dalam upaya meningkatkan kemudahan berusaha, pemerintah menyediakan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk impor barang-barang strategis tertentu, khususnya mesin dan peralatan pabrik. Fasilitas ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 115/PMK.03/2021.

Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan PPN ini, wajib pajak perlu memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN terlebih dahulu. SKB PPN diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memproduksi Barang Kena Pajak (BKP), seperti pemilik proyek atau penyedia jasa EPC.

Mesin dan peralatan pabrik yang dimaksud adalah perangkat yang digunakan langsung dalam proses produksi BKP, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas. Termasuk juga perangkat yang diimpor oleh pihak pelaksana konstruksi terintegrasi, namun tidak termasuk suku cadang.

Kriteria mesin dan peralatan pabrik yang memenuhi syarat meliputi:

  1. Mesin dan peralatan pabrik yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan BKP di bagian produksi, dari mulai dilakukannya proses pengubahan bentuk atau sifat suatu barang sampai dengan barang baru atau barang yang mempunyai daya guna baru terwujud, tidak termasuk kegiatan mempertahankan atau mengubah kualitas dan kegiatan transmisi atau distribusi;
  2. Mesin dan peralatan paberik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang. Suku cadang yang dimaksud adalah komponen yang dicadangkan untuk perbaikan atau penggantian bagian mesin atau peralatan yang mengalami kerusakan; dan
  3. Peralatan pabrik yang melekat pada mesin.

Untuk mendapatkan fasilitas ini, wajib pajak harus melampirkan Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan (RKIP) yang telah disetujui sebelum pengajuan dokumen pabean atau penyerahan barang dilakukan.

PKP juga harus memiliki masterlist yang diterbitkan berdasarkan permohonan fasilitas pembebasan bea masuk melalui sistem BKPM. Setelah mendapatkan masterlist, PKP dapat mengajukan permohonan SKB PPN kepada Ditjen Pajak melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW).

Persyaratan tambahan yang harus dipenuhi PKP antara lain:

  1. Telah menyampaikan SPT Pajak Penghasilan untuk dua tahun pajak terakhir dan SPT Masa PPN untuk tiga masa pajak terakhir
  2. Telah menyampaikan laporan realisasi impor dan perolehan
  3. Tidak memiliki utang pajak atau telah mendapatkan izin penundaan/pengangsuran pembayaran pajak

Saat mengajukan permohonan SKB PPN, wajib pajak perlu mengisi informasi antara lain:

  1. nomor izin usaha,
  2. jenis barang, spesifikasi teknis, kode HS, dan kuantitas barang.
  3. Wajib pajak juga harus mengunggah dokumen pendukung seperti :
    • uraian proses produksi,
    • kalkulasi kapasitas mesin,
    • denah tata letak mesin,
    • data teknis mesin,
    • dan pernyataan bahwa mesin tidak akan dipindahtangankan.

Jika impor dilakukan oleh penyedia pekerjaan EPC, perlu melampirkan informasi nama dan NPWP penyedia tersebut. Semua informasi ini harus disampaikan saat pengajuan permohonan pembebasan bea masuk.

Ditjen Pajak akan menerbitkan SKB PPN beserta RKIP yang disetujui secara otomatis melalui SINSW jika persyaratan terpenuhi. SKB PPN berlaku hingga batas waktu berlakunya masterlist.

c. SKB (PPh)

Definisi Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor

Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (SKB PPh Pasal 22 Impor) adalah dokumen resmi yang membebaskan Wajib Pajak dari kewajiban pemotongan pajak untuk penghasilan tertentu. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh 22 impor merupakan pemotongan pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang melakukan aktivitas impor barang. Objek pajak dalam ketentuan ini adalah barang-barang yang memberikan keuntungan bagi pihak pembeli dan penjual.

PPh pasal 22 impor juga diberlakukan pada wajib pajak badan yang memperdagangkan barang mewah, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 yang merupakan perubahan kedua dari PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari transaksi penjualan barang yang termasuk kategori sangat mewah. Cakupan objek pajak PPh pasal 22 meliputi barang impor, pembelian barang oleh pemerintah, semen, baja, kertas, produk otomotif, serta pembelian barang mewah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016.

Siapa Saja Yang Diberikan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22?

Insentif pajak berupa pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 impor diberikan kepada 132 KLU (Klasifikasi Lapangan Usaha) tertentu. Perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan ini termasuk perusahaan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) atau perusahaan yang berlokasi di kawasan berikat.

Mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 impor dilaksanakan oleh Bank Devisa atau DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) ketika Wajib Pajak melakukan kegiatan importasi barang. Dengan adanya fasilitas insentif ini, perusahaan yang memenuhi klasifikasi yang ditentukan dapat melakukan kegiatan impor tanpa dikenakan pajak penghasilan pasal 22 impor.

Pengecualian dari pungutan PPh Pasal 22 (baik untuk impor maupun belanja negara) hanya berlaku bagi individu, instansi, badan atau wajib pajak yang dapat menunjukkan surat keterangan bebas PPh Pasal 22. Dengan demikian, mereka tidak dikenakan pungutan PPh Pasal 22 atas barang impor yang dimasukkan dan pembayaran yang diterima dari belanja negara, baik APBD maupun APBN.

Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 tersebut diberikan kepada:

  • Yang menerima pembayaran dari belanja negara bukan subjek pajak dari pajak penghasilan
  • Yang melakukan pemasukan barang impor bukan sebagai subjek pajak dari pajak penghasilan
  • Importir yang memasukan barang impor atas dasar memesan terlebih dahulu dari pihak lain, setelah importir tersebut melunasi PPh Pasal 25 atas handling fee yang diterima atau diperoleh sebesar 15% x handling fee tersebut
  • Importir menjual barang impor langsung kepada pemerintah, setelah importir menunjukan, bahwa atas pengimporan barang tersebut telah dibayar PPh Pasal 22
  • Yang mengimpor barang adalah badan-badan yang berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri selama:
    1. Diberikan masa bebas pajak, sedangkan impor tersebut berkenaan dengan barang untuk keperluan penanaman modal yang bersangkutan
    2. Belum memulai dengan produksi dan mengimpor barang untuk keperluan penanaman modal yang bersangkutan.

Syarat Mengajukan Pembebasan Pajak PPh Pasal 22 Impor

Berdasarkan Pasal 9 Ayat 3 PMK Nomor 4 Tahun 2020, yaitu perusahaan yang bisa mengajukan pembebasan pajak penghasilan PPh Pasal 22 Impor adalah sebagai berikut:

  • Perusahaan Memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) atau kode KLU NPWP Online
  • Perusahaan telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) yaitu yang hanya diberikan kepada perusahaan yang berorientasi ekspor
  • Perusahaan telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB (Peralatan Digunakan Kerja Bertegangan), pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.

Tara Cara Pengajuan Pembebasan PPH Pasal 22 Impor

  • Mengajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, yang diajukan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak pada pajak.go.id
  • Menggunakan Formulir yang telah ditetapkan oleh DJP
  • Melampirkan penetapan sebagai perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE
  • Melampirkan penetapan sebagai perusahaan yang mengantongi izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasa Berikat, atau izin dari PDKB (Peralatan Digunakan Kerja Bertegangan).

Pengajuan Diterima atau Ditolaknya Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor

Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan mengeluarkan Surat Keterangan Bebas (SKB) atas pemungutan PPh Pasal 22 Impor apabila syarat-syarat yang ditentukan telah dipenuhi. Sebaliknya, apabila wajib pajak tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, maka akan diterbitkan Surat Penolakan.

Setelah memperoleh pembebasan PPh Pasal 22 Impor, wajib pajak berkewajiban untuk menyampaikan laporan realisasi pembebasan tersebut setiap bulan melalui laman http://www.pajak.go.id, paling lambat tanggal 20 di bulan berikutnya setelah akhir masa pajak.

Masa berlaku pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat Keterangan Bebas. Namun, apabila terjadi perubahan dalam Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) wajib pajak dan kode KLU yang baru tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 3, maka SKB PPh 22 Impor yang sudah diterbitkan menjadi tidak berlaku, terhitung sejak tanggal perubahan KLU tersebut.

Badan Pemungut PPh Pasal 22 

Pada tanggal 31 Desember 1983, Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Nomor 965/KMK.04/1983 yang merujuk pada Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1984. Keputusan ini menetapkan sejumlah instansi tertentu sebagai pemungut pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dari kegiatan usaha, serta mengatur dasar pemungutan, tarif, dan tata cara pelaksanaannya. Instansi yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 meliputi:

  1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
  2. Direktorat Jenderal Anggaran
  3. Para bendaharawan, baik yang menangani kegiatan rutin maupun proyek, di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah
  4. Lembaga atau badan lain yang melakukan pembayaran atas barang dan jasa yang berasal dari anggaran belanja negara atau daerah.

Adapun dasar pengenaan pajak (DPP) untuk PPh Pasal 22 mencakup:

  1. Penghasilan bersih dari kegiatan impor barang
  2. Penghasilan bersih dari penyerahan barang dan/atau jasa yang dibiayai oleh anggaran belanja negara maupun daerah.

Tarif PPh 22 Impor

Besaran Pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

  1. Untuk kegiatan impor menggunakan Angka Pengenal Importir (API), dikenakan tarif sebesar 2,5% dari nilai impor, sedangkan impor tanpa API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor.
  2. Barang yang tidak dikuasai dikenai pungutan sebesar 7,5% dari harga jual hasil lelang.
  3. Pembelian barang oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), bendahara pemerintah, serta BUMN/BUMD dikenakan tarif 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN dan bersifat tidak final).
  4. Penjualan hasil produksi dikenai tarif berdasarkan ketetapan dari Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas: 0,1% dari DPP PPN (tidak final)
    • Semen: 0,25% dari DPP PPN (tidak final)
    • Baja: 0,3% dari DPP PPN (tidak final)
    • Produk otomotif: 0,45% dari DPP PPN (tidak final)
  5. Penjualan atau penyerahan hasil produksi oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada distributor atau agen dikenakan PPh Pasal 22 yang bersifat final, sedangkan kepada selain agen atau distributor bersifat tidak final.
  6. Pembelian bahan baku untuk industri atau ekspor dari pedagang pengumpul dikenakan tarif 0,25% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN).
  7. Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API dikenai tarif 0,5% dari nilai impor.
  8. Penjualan barang-barang mewah berikut dikenai tarif 5% dari harga jual (tidak termasuk PPN dan PPnBM):
    • Pesawat udara pribadi dengan harga di atas Rp20 miliar
    • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga di atas Rp10 miliar
    • Rumah beserta tanahnya dengan harga atau nilai pengalihan lebih dari Rp10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m²
    • Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga atau nilai pengalihan lebih dari Rp10 miliar dan/atau luas bangunan di atas 400 m²
    • Mobil penumpang (sedan, jeep, SUV, MPV, minibus, dan sejenisnya) dengan harga di atas Rp5 miliar dan kapasitas mesin lebih dari 3.000 cc

Pengertian nilai impor adalah nilai dalam bentuk uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan Bea Masuk, yakni nilai CIF (Cost, Insurance, and Freight) yang ditambah Bea Masuk serta pungutan lain sesuai ketentuan peraturan kepabeanan.

Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 100% lebih tinggi dibanding tarif normal yang berlaku bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP, dan ketentuan ini berlaku untuk pungutan yang bersifat tidak final.

Namun demikian, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 yang ditetapkan pada 19 Juni 2019 tentang Tata Cara Pembatalan dan Pencabutan Surat Keterangan PPh berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018, pemerintah mencabut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER–32/PJ/2013. Peraturan lama tersebut sebelumnya mengatur tata cara pembebasan pemotongan atau pemungutan PPh bagi Wajib Pajak dengan penghasilan usaha tertentu berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013.

3. Jasa Pembuatan Kawasan Berikat & KITE

a. Kawasan Berikat

Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, area, atau zona yang memiliki batas-batas tertentu, di mana di dalamnya dilakukan berbagai aktivitas seperti pengolahan industri, perancangan, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal dan akhir, serta pengemasan terhadap barang atau bahan yang berasal dari impor maupun dari wilayah lain dalam Daerah Pabean Indonesia (DPIL), dengan hasil produksi yang umumnya ditujukan untuk ekspor.

Dalam kondisi tertentu, mesin yang berada di Kawasan Berikat dapat dikeluarkan, misalnya untuk dipinjamkan ke pelaku usaha lain dalam Kawasan Berikat atau untuk keperluan subkontrak di wilayah lain dalam Daerah Pabean Indonesia. Mesin yang dipinjamkan ke subkontraktor di wilayah lain dalam negeri diberikan jangka waktu peminjaman selama 12 bulan dan dapat diperpanjang hingga dua kali 12 bulan. Untuk keperluan ini, harus diserahkan jaminan sebagai bentuk pengamanan terhadap hak-hak negara yang masih berlaku.

Apabila mesin atau peralatan pabrik dikeluarkan ke wilayah Daerah Pabean Indonesia lainnya untuk keperluan perbaikan atau reparasi, maka jangka waktu yang diberikan adalah 12 bulan dengan tetap disertai jaminan.

Tujuan pembentukan kawasan berikat :

  1. Mendorong efisiensi produksi dengan mendekatkan ketersediaan bahan baku ke lokasi industri. Hal ini dimungkinkan karena di dalam kawasan berikat terdapat pusat distribusi yang secara langsung menyuplai kebutuhan industri, sehingga produsen tidak perlu lagi melakukan impor sendiri atau mengurus proses customs clearance di pelabuhan, maupun menyewa gudang penyimpanan lainnya.
  2. Sebagai sarana pemberian insentif kepabeanan dan perpajakan, di mana barang-barang impor yang masuk ke kawasan berikat mendapatkan kemudahan berupa penangguhan, penundaan, pengurangan, atau bahkan pembebasan dari bea masuk dan pajak.
  3. Meningkatkan daya saing produk ekspor di pasar internasional, karena biaya produksi dapat ditekan sehingga harga jual menjadi lebih kompetitif dibandingkan harga pasar pada umumnya.

Untuk melaksanakan tujuan tersebut di atas, pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan, seperti :

  1. Impor barang modal, perlengkapan konstruksi atau perluasan, serta peralatan kantor ke dalam Kawasan Berikat mendapatkan fasilitas berupa penangguhan pembayaran Bea Masuk dan pembebasan dari pungutan PPN, PPnBM, serta PPh Pasal 22.
  2. Barang atau bahan impor yang dimasukkan ke Kawasan Berikat diberikan fasilitas berupa penangguhan atau pembebasan Bea Masuk dan Cukai, serta tidak dikenakan PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22.
  3. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dari dalam negeri ke Kawasan Berikat memperoleh fasilitas berupa pembebasan dari pemungutan PPN dan PPnBM.
  4. Barang Kena Cukai yang berasal dari wilayah lain dalam Daerah Pabean Indonesia dan dimasukkan ke Kawasan Berikat dibebaskan dari kewajiban pembayaran cukai.

Pemasukan barang modal/peralatan pabrik/barang/bahan baku ke dalam kawasan berikat dapat dilakukan dari :

  • Tempat Penimbunan Sementara,
  • Gudang Berikat,
  • Kawasan Berikat Lainnya,
  • Pengusaha Dalam Kawasan Berikat dari satu kabupaten,
  • produsen pengguna fasilitas ekspor dan dari daerah pabean Indonesia lainnya

Dokumen pelindung perpindahan (overbrengen) barang dari satu tempat ke tempat lainnya adalah :

  • BC 2.3,
  • Bill of Lading,
  • Commercial Invoice,
  • Packing List,
  • dan dokumen pendukung lainnya.

Untuk pengeluaran hasil olahan yang berasal dari Pengusaha Dalam Kawasan Berikat dapat dilakukan untuk tujuan :

  • Ekspor (menggunakan dokumen BC 2.3 dan Pemberitahuan Ekspor Barang),
  • Kawasan Berikat Lainnya (dokumen BC 2.3 dan kontrak),
  • Pengusaha Dalam Kawasan Berikat dalam satu Kawasan Berikat (dokumen BC 2.3 dan kontrak),
  • Daerah Pabean Indonesia Lainnya (dokumen PIB, setelah terdapat realisasi ekspor).

Kawasan berikat memberikan kemudahan bagi badan hukum atau pengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang :

  1. Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB), yaitu berbentuk perseroan terbatas, yang memiliki, mengelola, dan menyediakan sarana atau prasarana guna keperluan pihak lain. Perizinan Penyelenggara Kawasan Berikat harus diajukan permohonan kepada Menteri Keuangan, melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Surat-surat yang harus dilampirkan adalah : surat izin usaha, amdal, persetujuan dari instansi teknis, akta pendirian badan hukum, bukti kepemilikan/penguasaan lokasi, NPWP, PKP, SPT tahun terakhir, peta lokasi/tempat yang mendapat persetujuan Pemerintah Daerah, Berita Acara Pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai serta pendapat DJBC;
  2. Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB), bentuk badan hukumnya adalah perseroan terbatas, yang melakukan kegiatan usaha pengolahan di Kawasan Berikat sebelum memulai kegiatannya, pengusaha memberitahukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam waktu 14 hari, tentang jenis kegiatan dan pengurus yang bertanggung jawab. Pemberitahuan yang diperlukan dan digunakan sebagai lampiran, adalah : bukti kepemilikan/penguasaan lokasi, surat izin usaha industri, akta pendirian badan hukum, NPWP, PKP, SPT tahun terakhir, rekomendasi Penyelenggara Kawasan Berikat, peta tempat/lokasi, saldo awal bahan baku, bahan dalam proses, barang jadi, barang modal dan peralatan pabrik;
  3. Persetujuan Pengusaha Dalam Kawasan Berikat dapat dicabut, jika dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut tidak beroperasi, atau Surat Izin Usaha tidak berlaku lagi, keadaan pailit, bertindak tidak jujur dalam usahanya, persetujuan Penyelenggara Kawasan Berikat dicabut sehingga keberadaan Pengusaha Dalam Kawasan Berikat sudah tidak relevan lagi atau atas permohonan sendiri.

Dalam menjalankan kegiatannya, Pengusaha Dalam Kawasan Berikat berkewajiban untuk :

  • Membuat pembukuan sesuai standar akuntansi, menyimpan buku, catatan selama 10 tahun;
  • Memberi kode untuk setiap jenis barang;
  • Menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk pejabat bea dan cukai yang ditugaskan di kawasan berikat;
  • Membuat laporan 3 bulan sekali kepada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya tentang persediaan bahan baku, barang dalam proses dan barang jadi;
  • Bertanggung jawab terhadap Bea Masuk, Cukai, dan Pungutan Dalam Rangka Impor yang terutang atas barang yang dimasukkan atau dikeluarkan dari Kawasan Berikat.

Pengeluaran barang dari Tempat Penimbunan Sementara atau Kawasan Pabean dengan tujuan untuk ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat, dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean yang diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai yang mengawasi Tempat Penimbunan Berikat.

Persetujuan pengeluaran barang diberikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai di pelabuhan/tempat pembongkaran/penimbunan barang. Petugas Bea dan Cukai setempat akan memeriksa persyaratan sesuai dengan ketentuan pengeluaran untuk tujuan Tempat Penimbunan Berikat.

Jika Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) / Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) yang merangkap sebagai PDKB/Pengusaha Pada Gudang Berikat (PPGB)/Penyelenggara Gudang Berikat (PGB) yang merangkap sebagai PPGB dan Penyelenggara Entreport untuk Tujuan Pameran (PETP).

b. KITE

Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) merupakan perlakuan kepada barang impor atau barang rakitan yang akan diekspor dan dapat diberikan keringanan bea masuk. KITE merupakan kebijakan dari Menteri Keuangan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.

Syarat Menjadi Wajib Pajak KITE

Fasilitas KITE ini diberikan kepada perusahaan yang disebut wajib pajak KITE. Untuk menjadi wajib pajak KITE dan mendapatkan kemudahan di bidang ekspor impor ini, perusahaan harus memenuhi persyaratan seperti:

  1. Memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) dan izin usaha industri. 
  2. Memiliki jenis usaha di bidang manufaktur.
  3. Memiliki bukti kepemilikan yang berlaku untuk waktu paling singkat 3 tahun atas lokasi yang akan digunakan untuk kegiatan produksi. 
  4. Memiliki tempat penimbunan barang dan hasil produksi.
  5. Menggunakan sistem informasi persediaan berbasis IT Inventory untuk pengelolaan barang berkaitan dengan dokumen kepabeanan dan dapat diakses oleh Ditjen Bea dan Cukai.

Setelah memenuhi semua syarat, perusahaan Anda juga harus mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Wilayah atau KPU yang mengawasi lokasi kegiatan usaha. 

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor diperuntukkan bagi badan usaha industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan telah memiliki NIPER (Nomor Induk Perusahaan). Lebih lanjut fasilitas KITE diatur dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 10 tentang Kepabeanan.Fasilitas ini juga mempengaruhi sisi perpajakan. Melalui fasilitas ini, pemerintah mempermudah alur impor bahan baku untuk produksi barang jadi yang kemudian akan diekspor. 

Jenis Fasilitas KITE

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari laman Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, fasilitas KITE dibagi menjadi 2 jenis:

1) Fasilitas pembebasan bea masuk dan PPN Impor tidak dipungut atas impor bahan baku untuk diolah dirakit, dipasang, dan hasil produksinya di ekspor.

2) Fasilitas pengembalian bea masuk atas impor bahan baku untuk dirakit, diolah, dipasang dan hasil produksinya diekspor. Bea masuk yang dimaksud di sini adalah bea tambahan seperti bea masuk pembalasan, bea masuk anti dumping, bea safeguard dan bea masuk imbalan. 

Penerapan KITE Sehubungan Covid-19

Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memberikan insentif tambahan kepada perusahaan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Fasilitas ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 31/PMK.04/2020 yang telah diundangkan per 13 April lalu.

Dalam kebijakan terbaru ini pemasukan barang dari dalam negeri untuk diolah menjadi komoditas ekspor tidak lagi dikenakan PPN, PPnBM dan bea masuk.

Perusahaan yang telah menjadi wajib pajak KITE juga diizinkan untuk melakukan penyerahan hasil produksi untuk diolah dengan hasil produksi dari kawasan berikat.

Tidak hanya wajib pajak KITE, namun kebijakan ini juga dikenakan pada wajib pajak yang mendapat fasilitas KITE IKM (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil Menengah).

Fasilitas KITE IKM merupakan fasilitas kemudahan pembebasan bea masuk, PPN serta PPnBM terutang tidak dipungut, termasuk bahan pengemas maupun mesin untuk keperluan pengolahan barang yang akan diekspor untuk penyerahan produksi industri kecil menengah.

Pemberian fasilitas ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi para pengusaha yang menjalankan bisnisnya di tengah pandemi Covid-19.

Melalui  fasilitas ini para pengusaha diharapkan akan mendapat berbagai manfaat seperti: 

  • Kemudahan pengembalian bea masuk.
  • Menekan arus kas perusahaan.
  • Meningkatkan daya saing perusahaan, ekspor nasional dan investasi.

Trending

Biaya Pendirian PT di Tahun 2025: Update Terbaru dan Tips Hemat!

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) di tahun 2025…

5 Kesalahan yang Harus Dihindari Saat Mengurus Perizinan PT di Tahun 2025

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah langkah penting…

Keuntungan Menggunakan Jasa Profesional untuk Pendirian PT di Tahun 2025

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) di tahun 2025…

Dokumen yang Wajib Disiapkan untuk Pendirian PT: Checklist 2025

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah langkah strategis…

Panduan Lengkap Cara Mendirikan PT di Indonesia Tahun 2025

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah langkah penting…